Oleh : Ari Fauzi Sabani
Namaku bukanlah malin, dan kepanjangannya pun bukanlah kundang. Aku
hanyalah pengecut berwajah pribumi dengan sedikit polesan persia dihidungku,
dan aku pun adalah seorang pengkhawatir. Aku khawatir akan ada pujangga yang
mengangkat cerita hidupku sebagai sequel dari balada kelabu malin kundang. Tapi tahukah kamu? Apabila kamu bertanya
tentang nama ibuku, maka akan ku lontarkan dengan sangat tegas dan kuhiasi
dengan untaian penghayatan makhorijul huruf yang sunguh-sungguh bahwa nama
ibuku adalah “Khoeriyah”. Sebuah nama yang akan sulit kau temukan untuk
anak-anak yang lahir di era millenium abad 20. Sebuah nama yang apabila kau
cari terjemahannya, maka akan kau temukan sebuah frase bermakna “kebaikan”.
Sejak aku
dinobatkan sebagai mahasiswa prematur di sebuah perguruan tinggi dalam
rindangnya kota hujan, lingkungan seakan mendesakku untuk menuliskan sebuah
hipotesis tentang ibu, “Kasih sayang seorang ibu akan terasa lebih dahsyat,
ketika kau berada di sebuah tempat dengan jarak minimal 6 jam perjalanan sebuah
kendaraan bermotor dari tempat tinggal ibumu dalam rentan waktu minimal 5 kali terbenamnya matahari”. Sejak saat
itu pula, mataku seakan tak mampu berkedip melihat kenyataan bahwa ibuku adalah
seseorang yang sangat keterlaluan, sungguh keterlaluan!. Ia begitu keterlaluan
menyayangiku, keterlaluan melindungiku, dan keterlaluan mendoakanku.
Sesungguhnya aku tak berhak menyematkan kata “dan” setelah tanda koma pada
kalimat itu, karena ku yakin jikalaupun aku menuliskan semua keterlaluan yang
telah ibuku lakukan terhadapku, maka tak akan ada media yang mampu memuat
semuanya. Satu hal yang kuyakini bahwa pengorbanan dan doanya telah menjadi
tunggangan yang menghantarkanku pada sebuah padepokan yang menyegel diri pada
kajian ilmu pertanian.
Hingga ragaku
sampai di persimpangan sebuah asrama yang telah tertakdirkan padaku, aku pun
menyadari bahwa aku tak mampu lagi untuk melihat seorang wanita yang raganya
selalu kokoh menopangku, mengintegralkan hidupnya untuk hidupku, dan
menumpahkan kasihnya untuk mengisi setiap sel jiwaku, hingga ia pun tak sempat
bersolek untuk suaminya ataupun menyiram bunga mawar favoritnya karenaku.
Waktupun terus
menepi menuju akhirnya, setiap detik itu seakan mengkarantinaku dalam sebuah
tugas menganalisis dan meresume semua dosa-dosaku tehadap ibuku. Aku sungguh
dibuat terheran-heran olehnya, mengapa ia masih sempat menanyakan kabar setiap
sel didalam tubuhku dan setiap sel didalam rohaniku, dikala koleksi dosaku
terhadapnya semakin menumpuk dan berdebu? Mengapa ia masih sempat
membangunkanku dikala fajar menjelang meski ku tahu ia begitu kelelahan? Dan
mengapa ia masih sempat mengetik sebuah pesan “Jangan lupa sholat karena itu
akan menjadi kekuatanmu, jangan lupa makan karena itu akan menjadi cadanganmu,
dan jangan lupa belajar karena itupun sangat penting untukmu”, meski ku
tahu tangan lembutnya telah terluka ketika ia menjajakan buliran beras untuk
dijual?.Akan tetapi satu hal yang terbukti, semua pertanyaan dan pernyataan itu
telah menutup semua jalan menuju berjuta keburukan yang sesungguhnya terjajakan
oleh kondisiku sebagai perantauan.
Kala pagi
menantang, di telepon genggamku selalu telah tersaji sebakul semangat dan secangkir doa hangat dari seorang ibu di
tepian timur Jawa Barat. Rinduku padanya seakan menjadi rute yang selalu
membatasiku dan menunjukan arah jalan ketika aku sedang berada di medan perang
yang dikemas dalam sebuah institusi pendidikan. Meskipun suatu waktu aku pernah
menanyakan penyelesaian dari sebuah soal kepada ibuku tentang “pesawat
sederhana” yang sesungguhnya pertanyaannya tak sesederdahana namanya. Ia pun dengan
tergesa-gesa memberiku jawaban dalam sepucuk pesan “Bergaullah dengan orang,
dan perbanyaklah menjalin pertemanan, niscaya hidupmu akan aman dan nyaman”,
seketika hatiku langsung terhenyak, aku takut pertanyaan itu telah melukai
keinginan hati dan masa lalunya yang begitu bersemangat untuk mencapai
pendidikan tinggi, meski akhirnya orangtuanya hanya mengizinkan dan
mengantarnya pada level pertengahan dan menikahkannya di usia keemasan.
Kala suatu malam
menggapai sebutan “Nisfu Sya’ban”, dadaku sesak, peluhku bercucuran, begitupun
mataku tak terpuaskan menumpahkan airnya. Aku beristigfar untuk bertobat,
bersimpuh untuk meminta maaf meskipun hanya suaranya yang mampu kugapai tuk
kulihat. Tapi untuk kedua kalinya aku dibuat terheran-heran olehnya, ia
menanggapinya tanpa ada sedikitpun suara yang menandakan bahwa air matanya
telah tertumpah oleh ku, ia hanya bersua “Tak ada yang harus kutangiskan
darimu, kau telah membuatku menjadi ibu yang sempurna, kau telah memenuhi
hatiku dengan semua kebaikan dan kebanggaan yang kau torehkan, dan aku hanya
menginginkan kau menjaga semua itu dengan perlakuan, dengan iman, dan dengan
keikhlasan. Buatlah hidupmu meinginspirasi bagi banyak orang”.
Aku tahu
pemerintah telah mencanangkan diversifikasi pangan dalam rangka ketahanan
pangan di negeri ini, tapi aku pun tahu bahwa ibuku telah mencanangkan anti
diversifikasi permasalahan dalam rangka ketahanan hidup yang menginspirasi
didalam diri ini. Aku semakin yakin bahwa “Ridho Allah ada ditangan ridho kedua
orang tua khususnya ibu”. Sejak saat itu, aku dilanda sebuah krisis kesulitan
hidup, karena saat itu hidupku terasa dimudahkan, urusanku terasa dicapaikan,
kebutuhanku terasa terpenuhkan, dan keinginanku terasa terkabulkan. Aku yakin,
ibukulah sang biang kerok dibalik kegagalanku meraih nilai jelek pada saat
matrikulasi, dan aku pun tak akan lupa untuk meyakini bahwa Tuhanlah sang
dalang dari semua ini.
Ibu....terima
kasih telah menjerumuskanku pada sebuah dunia penuh kebaikan, terima kasih
telah menghasutku untuk menjadi seseorang yang berprofesi menginspirasi, terima
kasih telah memutilasi semua keburukan-keburukan dalam diriku, dan terima kasih
telah mengaborsi semua kemalasan yang membuahi seluruh jiwaku.