Malam itu, aku laksana seorang napi tak
bersalah yang memasung kakinya sendiri dengan kayu jati tua berwarna coklat
menyala. Aku seakan ingin merobek semua skenario yang tak pernah ku lihat
wujudnya saat itu. Adikku terus meneteskan ingus hijau pekat seakan ia memberi
suatu pelepasan tanpa kerelaan, apalagi ibuku meski matanya terlihat gersang
tapi jelas aku melihat sebuah fatamorgana oasis sedih kebahagiaan dalam
hatinya. Ibuku terus menjejali satu-satunya tas bepergian yang ku punya dengan
apa yang aku butuhkan, ia terus mengingatkanku akan sesuatu yang mungkin telah
ku lupakan. Lalu, ku sentuh tangan kasarnya dan kuciumi pipinya, tangannya
seakan menvisualisasikan bagaimana perjuangannya bertarung dengan bulir-bulir
padi yang begitu gatal dan runcing. Lalu, aku pun berpamitan pada sang guru
yang telah mengajarkanku berbagai ilmu tentang dua alam, bagiku ilmu yang ia
berikan lebih berharga daripada yang ku dapatkan di perguruan formal.
Saat jarum di jam tanganku membentuk sudut
180 derajat antara angka 6 dan 12, aku pun pergi dengan menatap haru semua
keluargaku, saat itu pun aku baru tersadar betapa eloknya kota yang telah
kusetubuhi selama 15 tahun ini. Kala itu memang aku masih di temani oleh
seorang pendonor gen paling banyak bagi diriku, itulah ayahku. Saat itu seakan
semua tabir kesadaran dalam hidupku terungkap, selama ini aku buta tak pernah
melihat suatu sisi paling indah dari mereka. 8 jam sudah pantatku merekat erat
pada kursi sebuah bus eksekutif berlabel “Budiman”. Lalu, aku dan ayahku
bergegas mengayunkan kaki dan menapakkan pada tanah sebuah persimpangan Bis tua
khas kota hujan dalam keganasan yang terselimuti oleh indahnya malam. Jalanku
tertatih, seakan-akan si buta yang terus meraba dan menapaki jalan. to be continued.....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar