Oleh
Ari Fauzi Sabani
Ada hari hari dimana segala kerja
keras seakan hanya bualan kritikus jalanan yang tak pernah di dengar, segala
peluh pikiran pernah kutuangkan hanya untuk mendapat pujian dengan menabung angka yang besar pada
setiap ujian. Maklum! saat itu Tuhan baru saja menobatkanku sebagai mahasiswa
perantauan di kampus pertanian yang ambisinya kepenuhan hingga meletup-letup
tak terarahkan. Malamku selalu habis, siangku kelelahan mempelajari setiap ilmu
pangan yang telah ku titipkan masa depanku padanya, aku merasa tidak ada yang
salah dengan apa yang aku lakukan. Wejangan guruku sewaktu SD bahwa “Rajin
pangkal pandai” tak pernah kutanggalkan, apalagi titipan guru ngajiku agar
selalu bermunajat kepada Tuhan. Saat masa kuliahku mulai menapaki persimpangan tingkat,
ujian tengah semester telah menghadang untuk ditaklukan. Setelah aku
menghadangnya, hasilnya begitu mengecewakan, ambisiku pingsan, asaku babak
belur olehnya. Secara manusiawi aku pun berteriak histeris, memaki-maki, dan
mempertanyakan dimana keadilan Tuhan.
Ibarat sinetron Indonesia yang tokoh
utamanya tak pernah lepas dari kemalangan, ketidakberuntungan kembali merasuki
asaku, empat kali aku menawarkan diri agar para donatur mau membiayai kuliah
dan hidupku, empat kali pula aku ditolak mentah-mentah oleh mereka ... Yah!!, saat itu dengan angkuhnya aku
mengatakan semua itu hanyalah ketidakberuntungan dan bukan kesalahan. Sampai
akhirnya, mungkin Tuhan jengkel kepadaku yang tak kunjung menyadari ada hal
besar yang kulewatkan. “Ridho Allah adalah Ridhanya kedua orangtua”, itulah
jawaban Tuhan atas pertanyaanku terhadap keadilannya dan menunjukan betapa
bodohnya aku padahal Tuhan telah memberikan jawaban bahkan sebelum aku bertanya.
Sejak saat itu, kala pagi mulai mengintip
waktuku untuk berangkat kuliah, aku tak pernah lupa untuk menelpon ataupun
sekedar mengirim pesan singkat meminta izin dan doa kepada orangtuaku. Meskipun
sebenarnya tak perlu dengan memintanya pun selalu tersaji sebakul semangat dan
secangkir doa hangat dari orang tua terhebat di tepian timur Jawa Barat itu. Secara tidak sopan, aku pun selalu menyodorkan
dan melibatkan berbagai masalah yang kuhadapi kepada mereka, tapi apapun
masalahnya orangtuaku selalu mengatakan “Masalah adalah Uang”,
darisanalah aku menyadari berapa banyak orang yang jadi jutawan dari adanya
masalah lapar, berapa banyak orang dapat hidup gara-gara masalah nyamuk karena
dapat bekerja di perusahaan obat nyamuk.
Sejak aku membiasakan diri untuk menelpon orang tuaku sebelum kuliah ataupun sebelum melakukan kegiatan, aku dilanda sebuah krisis kesulitan hidup, karena saat itu hidupku terasa dimudahkan, urusanku terasa dicapaikan, kebutuhanku terasa terpenuhkan, dan keinginanku terasa terkabulkan. Aku yakin, doa kedua orangtuakulah salahsatu biang kerok dibalik kegagalanku meraih ip rendah atau kegagalanku mendapatkan penolakan dari beasiswa Tanoto Foundation, dan aku yakin Tuhanlah sang dalang dari semua ini. Sesungguhnya mewujudkan impian itu bagaikan memerankan skenario sinetron yang ceritanya rumit berbelit-belit dengan alur yang memutar dengan konflik imajinatif ala “Cinta Fitri” yang pernah melejit. Akhirnya... kerja cerdas, doa, serta restu orangtualah yang akan menjadi legitimasi atas persetujuan Tuhan bagi semua cita-cita kita.
“Ada saat-saat dimana kita berpikir kebahagiaan hanya ditakdirkan untuk orang lain, dan masalah hanya ditakdirkan untuk kita. Tapi yakinilah bahwa masalah adalah uang, dan orangtuamu adalah orang kepercayaan Tuhan untukmu, maka bersikap baiklah terhadap mereka! Itulah keadilan Tuhan!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar