Sabtu, 06 Desember 2014
Rabu, 12 November 2014
Selasa, 04 November 2014
CAJUPUT CANDY, CARA BARU MENIKMATI KAYU PUTIH
Oleh :
Ari Fauzi Sabani
Pemanfaatan
minyak kayu putih sebagai minyak oles penghangat tubuh sudah lama berkembang di
masyarakat. Namun, di tangan Prof Dr Ir C Hanny Wijaya ekstrak minyak kayu
putih ini dapat dijadikan sebagai bahan baku permen yang nikmat dan berkhasiat
bernama Cajuput Candy.
Terinspirasi
dari kebiasaan masa kecilnya meminum air yang telah ditetesi minyak kayu putih
pada saat terkena masuk angin dan kebingungannya mencari cenderamata khas
indonesia yang ramah dikantong untuk rekan-rekannya di Jepang, sejak tahun 1997
Prof Dr Ir C Hanny Wijaya dan tim telah mengembangkan Cajuput Candy sebagai
produk confectionary berupa permen keras pelega tenggorokan yang
berbahan dasar minyak atsiri kayu putih yang diperoleh melalui proses distilasi
dari daun dan kulit kayu tanaman herbal Indonesia Malaleuca cajuputi
(Ketaren 1990). Sejauh ini , produk yang dipatenkan pada tahun 2002 ini
telah memperoleh penghargaan sebagai 103 Inovasi Indonesia (2011), Anugerah
Kekayaan Intelektual Luar Biasa pada tahun 2012, mendapat pengakuan sebagai
Asean Food Products pada 13th ASEAN Food Conference 2013 di Singapura, dan
telah terdaftar di BPOM RI dengan nomor MD 624410004005 serta telah
tersertifikasi halal oleh MUI dengan No 00110067461213.
Menurut
Budavari 1989, senyawa bioaktif dalam minyak kayu putih berfungsi sebagai expectorant
dan antiseptik untuk meringankan sakit tenggorokan, anti inflamasi, dan
antifungal. Selain itu juga minyak kayu putih dapat digunakan untuk mengobati
batuk dan pilek, sakit/kram perut, masuk angin, serta asma (Lassak dan McCarthy
1983).
“Manfaat
dari permen kayu putih adalah untuk menghangatkan tubuh, melegakan tenggorokan,
mencegah karies gigi bahkan mencegah gigitan nyamuk. Hal ini karena saat
mengulum permen, aroma kayu putih keluar dari mulut dan membuat nyamuk kabur”
ujar Dosen ITP-IPB ini pada Seminar Nasional Food Day Festival (12/10).
Seiring semakin
berkembangnya produk ini, beberapa inovasi terhadap produk pun dihadirkan
seperti Non-Sucrose Cajuput Candy yang rendah kalori dengan ingredient
utama isomalt yang diperkaya flavor buah, dan Cajuput candy rasa Honeydew.
Bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, cajuput
candy telah diteliti mampu menghambat pembentukakan biofilm bakteri Streptococcus
mutans, dan Streptococcus sobrinus yang biasa menyebabkan karies
pada gigi, serta mampu menghambat viabilitas dan pembentukan biofilm Candida
albicans sehingga permen ini mempunyai potensi menjaga homeostasis
mikroflora dalam mulut dan berfungsi sebagai oral health care yang mampu
mencegah karies pada gigi dan infeksi pada luka di rongga mulut.
Cajuput
candy muncul sebagai produk yang bercirikan muatan lokal,
simpel, praktis, murah dan menyehatkan. Bahan utamanya adalah minyak atsiri
dari tanaman kayu putih yang diambil dari Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Tanaman
kayu putih bukan hanya terdapat di Pulau Buru, tapi hampir di setiap wilayah di
Indonesia seperti di Jawa Tengah juga terdapat sentral kayu putih yang dibuat
untuk minyak oles.
“Dipilihnya
kayu putih dari Pulau Buru didasarkan hasil penelitian komponen gas
kromatografi yaitu analisis penyusun komponen sampel, dimana minyak kayu putih
dari kayu putih Pulau Buru dari segi organoleptik lebih disukai” ujar Prof Dr
Ir Hanny Wijaya pada Seminar Nasional Food Day Festival (12/10).
Cajuput
candy dapat dibeli di Bread Unit IPB Dramaga, Serambi Botani,
Agrimart IPB, dan berbagai toko di kawasan IPB dengan harga antara Rp 3000 - Rp 5000 per bungkus (1 bungkus isi 5 butir
permen). Sejauh ini, tingkat penerimaan terhadap permen ini positif dan tingkat
permintaannya cenderung meningkat, meskipun sebagian besar orang awam akan
sedikit ragu ketika pertama kali akan mencobanya karena ketidaklaziman minyak
kayu putih dikonsumsi.
Tantangan
selanjutnya yang sedang dijalankan oleh Prof Dr Ir Hanny Wijaya dan tim adalah
pengembangan cajuput candy dalam bentuk chewy candy. Prof Dr Ir Hanny Wijaya
berharap produk Cajuput Candy mampu menjadi inisiator yang menjadikan
Indonesia sebagai produsen permen herbal bercitarasa nusantara yang dikenal
oleh dunia.
Selasa, 14 Oktober 2014
LALAPAN, SEHATKAH?
Oleh :
Ari Fauzi Sabani
Masyarakat Indonesia terutama dari
suku sunda pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya lalapan. Pelengkap
yang berasal dari berbagai sayuran ini menyerupai salad yang terkenal sebagai
makanan orang barat. Perbedaannya salad dikonsumsi dengan saus (dressing),
sedangkan lalapan biasa disantap bersama nasi hangat, lauk, dan sambel terasi. Sayuran
yang biasa dijadikan sebagai lalapan diantaranya daun kemangi, daun singkong,
mentimun, kol, terong bulat, daun singkong, labu siam, pare, wortel, selada,
daun bayam dan sebagainya. Seperti telah diketahui, mengkonsumsi sayuran merupakan
hal penting yang harus dilakukan manusia agar tetap sehat. Sayuran pada
dasarnya banyak mengandung mineral, serat, vitamin, dan antioksidan yang
dibutuhkan oleh manusia, seperti halnya wortel yang banyak mengandung
karotenoid, atau daun bayam yang
merupakan sumber vitamin E, dan zat besi. Berdasarkan hal tersebut, Apakah benar lalapan merupakan makanan sehat?
Faktor-faktor yang menentukan kualitas makanan baik, dapat ditinjau dari beberapa
aspek, diantaranya aspek kelezatan (cita rasa dan flavour), kandungan zat gizi
dalam makanan dan aspek kesehatan masyarakat. Makanan yang menarik, nikmat dan
tinggi gizinya menjadi tidak berarti sama sekali jika tidak aman untuk dikonsumsi.
Hal ini dapat disebabkan karena makanan bertindak sebagai perantara atau
substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab
penyakit. Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan memegang peranan penting
dalam pembentukan senyawa yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan
tidak layak makan. Beberapa mikroorganisme yang mengontaminasi makanan dapat
membahayakan bagi yang mengkonsumsinya. Makananan yang aman adalah yang tidak
tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bakteri dan bahan kimia
berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar sehingga sifat dan zat
gizinya tidak rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia. Karena
itu kualitas makanan baik secara bakteriologi, kimia dan fisik harus selalu
diperhatikan. Kualitas dari produk pangan untuk dikonsumsi manusia pada
dasarnya dipengaruhi oleh mikroorganisme
Lalapan berasal dari
sayuran, sehingga sudah tidak diragukan lagi bahwa lalapan memiliki zat gizi
sesuai jenis lalapannya. Sayuran lalapan biasa dikonsumsi secara mentah, karena
dilihat dari tekstur dan organoleptiknya lalapan ini memungkinkan untuk
dikonsumsi secara mentah. Karena dikonsumsi secara mentah zat gizi yang
terkandung pada lalapan tidak mengalami perubahan. Namun hal tersebut menimbulkan
konsekuensi dan resiko kontaminasi mikroba patogen dan senyawa kimia beracun
pada lalapan yang kita konsumsi.
Menurut
Prof.Dr.Ir.MadeAstawan (ahli teknologi
pangan dan gizi IPB) faktor-faktor yang perlu dicurigai dalam mengonsumsi
lalapan mentah adalah residu pestisida akibat pencucian yang tidak sempurna,
pasalnya beberapa zat kimia dalam pestisida tidak bisa hilang meski dicuci.
Kontaminasi mikroba patogen yang menimbulkan penyakit seperti penyakit tifus
oleh bakteri Salmonella typhi, disentri
oleh Shigella dysentriae, kolera oleh Vibrio cholerae, tuberkulosis oleh Mycobacterium, dan
Eschericia coli yang dapat
menimbulkan diare. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya kontaminasi dari
air pencuci dari sumber yang tercemar atau penggunaan humus yang berasal dari
kotoran hewan karena sebagian besar sayuran merupakan tanaman pendek yang
jaraknya sangat dekat dengan tanah.
Sebuah penelitian menunjukan bahwa
sebanyak 4% dari seluruh sampel selada segar dari berbagai pasar tradisional di
Bogor yang diuji teridentifikasi terkontaminasi Salmonella (Agustin
2004). Adanya Salmonella tersebut diperkirakan karena terjadinya
kontaminasi feses manusia dan hewan saat pra panen sampai rentang waktu
penjualan. Penelitian lain menunjukan bahwa berdasarkan kandungan bakteri E. Coli pada sayuran lalapan di
pasar tradisional, supermarket dan restoran di Kota Medan pada sampel kemangi yang
diuji seluruhnya memenuhi syarat kesehatan, sampel kol dan selada seluruhnya
tidak memenuhi syarat kesehatan, sedangkan sampel terong dari pasar tradisional tidak memenuhi syarat kesehatan
(Flroensi et al. 2012)
Berdasarkan uraian diatas, dari segi
kandungannya lalapan merupakan makanan yang sehat, namun hal tersebut akan
menjadi percuma apabila penanganan pra-konsumsi untuk menghilangkan bahaya dari
mikroba-mikroba patogen dan senyawa beracun pada lalapan tidak dilakukan dengan
benar dan higyenis. Hal yang dapat dilakukan sebelum mengonsumsi mentah sayuran
lalapan untuk menghilangkan kontaminasi
dari mikroba dan senyawa kimia berbahaya yaitu pencucian dengan air yang
mengalir yang tidak tercemar, pencucian dengan air asam (cuka, air lemon, air
jeruk nipis) atau dicuci dengan larutan Kalium Permanganat 0,02% kemudian
dibilas dengan air matang yang sudah dingin.
Konsumsi lalapan matang pun lebih
disarankan karena dinilai lebih aman meskipun dimungkinkan terdapat beberapa
zat gizi dalam lalapan yang hilang atau rusak akibat proses pemasakannya. Pemasakan
sayuran untuk lalapan harus dilakukan sedemikian rupa agar teksturnya tidak
hancur. Pemasakan sebaiknya dilakukan dengan teknik blansir, yaitu pelunakan
bahan dengan cara pencelupan beberapa saat (sekitar 5 menit) pada suhu air
mendidih, yang kemudian segera disiram dengan air dingin (matang) agar
pemanasan tidak berlanjut. Pemasakan dengan teknik blansir ini dinilai
mampu meminimalisir kerusakan zat gizi pada lalapan, membunuh mikroba patogen,
mengubah senyawa komplek menjadi sederhana sehingga mudah dicerna,
menginaktifkan senyawa alami beracun, dan menguraikan residu pestisida agar
tidak berbahaya bagi tubuh manusia.
Pustaka
Agustin D. 2004. Prevalensi Salmonella
pada Selada Segar di Pasar Tradisional Daerah Bogor dan Evalusai Prosedur
Pengujiannya [Skripsi]. Bogor (ID) : Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Florensi et al. 2012. Pemeriksaan
E. Coli dan larva cacing pada sayuran lalapan kemangi, kol, selada, terong yang dijual di pasar
tradisional, supermarket, dan restoran di Kota Medan [Laporan Penelitian].
Medan (ID) : Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Selasa, 30 September 2014
Sabtu, 27 September 2014
Rabu, 24 September 2014
Minggu, 31 Agustus 2014
Rabu, 27 Agustus 2014
“KEADILAN TUHAN : Restu Orang Tua”
Oleh
Ari Fauzi Sabani
Ada hari hari dimana segala kerja
keras seakan hanya bualan kritikus jalanan yang tak pernah di dengar, segala
peluh pikiran pernah kutuangkan hanya untuk mendapat pujian dengan menabung angka yang besar pada
setiap ujian. Maklum! saat itu Tuhan baru saja menobatkanku sebagai mahasiswa
perantauan di kampus pertanian yang ambisinya kepenuhan hingga meletup-letup
tak terarahkan. Malamku selalu habis, siangku kelelahan mempelajari setiap ilmu
pangan yang telah ku titipkan masa depanku padanya, aku merasa tidak ada yang
salah dengan apa yang aku lakukan. Wejangan guruku sewaktu SD bahwa “Rajin
pangkal pandai” tak pernah kutanggalkan, apalagi titipan guru ngajiku agar
selalu bermunajat kepada Tuhan. Saat masa kuliahku mulai menapaki persimpangan tingkat,
ujian tengah semester telah menghadang untuk ditaklukan. Setelah aku
menghadangnya, hasilnya begitu mengecewakan, ambisiku pingsan, asaku babak
belur olehnya. Secara manusiawi aku pun berteriak histeris, memaki-maki, dan
mempertanyakan dimana keadilan Tuhan.
Ibarat sinetron Indonesia yang tokoh
utamanya tak pernah lepas dari kemalangan, ketidakberuntungan kembali merasuki
asaku, empat kali aku menawarkan diri agar para donatur mau membiayai kuliah
dan hidupku, empat kali pula aku ditolak mentah-mentah oleh mereka ... Yah!!, saat itu dengan angkuhnya aku
mengatakan semua itu hanyalah ketidakberuntungan dan bukan kesalahan. Sampai
akhirnya, mungkin Tuhan jengkel kepadaku yang tak kunjung menyadari ada hal
besar yang kulewatkan. “Ridho Allah adalah Ridhanya kedua orangtua”, itulah
jawaban Tuhan atas pertanyaanku terhadap keadilannya dan menunjukan betapa
bodohnya aku padahal Tuhan telah memberikan jawaban bahkan sebelum aku bertanya.
Sejak saat itu, kala pagi mulai mengintip
waktuku untuk berangkat kuliah, aku tak pernah lupa untuk menelpon ataupun
sekedar mengirim pesan singkat meminta izin dan doa kepada orangtuaku. Meskipun
sebenarnya tak perlu dengan memintanya pun selalu tersaji sebakul semangat dan
secangkir doa hangat dari orang tua terhebat di tepian timur Jawa Barat itu. Secara tidak sopan, aku pun selalu menyodorkan
dan melibatkan berbagai masalah yang kuhadapi kepada mereka, tapi apapun
masalahnya orangtuaku selalu mengatakan “Masalah adalah Uang”,
darisanalah aku menyadari berapa banyak orang yang jadi jutawan dari adanya
masalah lapar, berapa banyak orang dapat hidup gara-gara masalah nyamuk karena
dapat bekerja di perusahaan obat nyamuk.
Sejak aku membiasakan diri untuk menelpon orang tuaku sebelum kuliah ataupun sebelum melakukan kegiatan, aku dilanda sebuah krisis kesulitan hidup, karena saat itu hidupku terasa dimudahkan, urusanku terasa dicapaikan, kebutuhanku terasa terpenuhkan, dan keinginanku terasa terkabulkan. Aku yakin, doa kedua orangtuakulah salahsatu biang kerok dibalik kegagalanku meraih ip rendah atau kegagalanku mendapatkan penolakan dari beasiswa Tanoto Foundation, dan aku yakin Tuhanlah sang dalang dari semua ini. Sesungguhnya mewujudkan impian itu bagaikan memerankan skenario sinetron yang ceritanya rumit berbelit-belit dengan alur yang memutar dengan konflik imajinatif ala “Cinta Fitri” yang pernah melejit. Akhirnya... kerja cerdas, doa, serta restu orangtualah yang akan menjadi legitimasi atas persetujuan Tuhan bagi semua cita-cita kita.
“Ada saat-saat dimana kita berpikir kebahagiaan hanya ditakdirkan untuk orang lain, dan masalah hanya ditakdirkan untuk kita. Tapi yakinilah bahwa masalah adalah uang, dan orangtuamu adalah orang kepercayaan Tuhan untukmu, maka bersikap baiklah terhadap mereka! Itulah keadilan Tuhan!”
Jumat, 08 Agustus 2014
Minggu, 08 Juni 2014
Minggu, 11 Mei 2014
Langganan:
Postingan (Atom)