Sabtu, 05 Januari 2013

“IBUKU DIBALIK KEHIDUPAN YANG MENGINSPIRASI”



Oleh : Ari Fauzi Sabani
Namaku bukanlah malin, dan kepanjangannya pun bukanlah kundang. Aku hanyalah pengecut berwajah pribumi dengan sedikit polesan persia dihidungku, dan aku pun adalah seorang pengkhawatir. Aku khawatir akan ada pujangga yang mengangkat cerita hidupku sebagai sequel dari balada kelabu malin kundang.  Tapi tahukah kamu? Apabila kamu bertanya tentang nama ibuku, maka akan ku lontarkan dengan sangat tegas dan kuhiasi dengan untaian penghayatan makhorijul huruf yang sunguh-sungguh bahwa nama ibuku adalah “Khoeriyah”. Sebuah nama yang akan sulit kau temukan untuk anak-anak yang lahir di era millenium abad 20. Sebuah nama yang apabila kau cari terjemahannya, maka akan kau temukan sebuah frase bermakna “kebaikan”.
            Sejak aku dinobatkan sebagai mahasiswa prematur di sebuah perguruan tinggi dalam rindangnya kota hujan, lingkungan seakan mendesakku untuk menuliskan sebuah hipotesis tentang ibu, “Kasih sayang seorang ibu akan terasa lebih dahsyat, ketika kau berada di sebuah tempat dengan jarak minimal 6 jam perjalanan sebuah kendaraan bermotor dari tempat tinggal ibumu dalam rentan waktu minimal 5  kali terbenamnya matahari”. Sejak saat itu pula, mataku seakan tak mampu berkedip melihat kenyataan bahwa ibuku adalah seseorang yang sangat keterlaluan, sungguh keterlaluan!. Ia begitu keterlaluan menyayangiku, keterlaluan melindungiku, dan keterlaluan mendoakanku. Sesungguhnya aku tak berhak menyematkan kata “dan” setelah tanda koma pada kalimat itu, karena ku yakin jikalaupun aku menuliskan semua keterlaluan yang telah ibuku lakukan terhadapku, maka tak akan ada media yang mampu memuat semuanya. Satu hal yang kuyakini bahwa pengorbanan dan doanya telah menjadi tunggangan yang menghantarkanku pada sebuah padepokan yang menyegel diri pada kajian ilmu pertanian.
            Hingga ragaku sampai di persimpangan sebuah asrama yang telah tertakdirkan padaku, aku pun menyadari bahwa aku tak mampu lagi untuk melihat seorang wanita yang raganya selalu kokoh menopangku, mengintegralkan hidupnya untuk hidupku, dan menumpahkan kasihnya untuk mengisi setiap sel jiwaku, hingga ia pun tak sempat bersolek untuk suaminya ataupun menyiram bunga mawar favoritnya karenaku.
            Waktupun terus menepi menuju akhirnya, setiap detik itu seakan mengkarantinaku dalam sebuah tugas menganalisis dan meresume semua dosa-dosaku tehadap ibuku. Aku sungguh dibuat terheran-heran olehnya, mengapa ia masih sempat menanyakan kabar setiap sel didalam tubuhku dan setiap sel didalam rohaniku, dikala koleksi dosaku terhadapnya semakin menumpuk dan berdebu? Mengapa ia masih sempat membangunkanku dikala fajar menjelang meski ku tahu ia begitu kelelahan? Dan mengapa ia masih sempat mengetik sebuah pesan “Jangan lupa sholat karena itu akan menjadi kekuatanmu, jangan lupa makan karena itu akan menjadi cadanganmu, dan jangan lupa belajar karena itupun sangat penting untukmu”, meski ku tahu tangan lembutnya telah terluka ketika ia menjajakan buliran beras untuk dijual?.Akan tetapi satu hal yang terbukti, semua pertanyaan dan pernyataan itu telah menutup semua jalan menuju berjuta keburukan yang sesungguhnya terjajakan oleh kondisiku sebagai perantauan.
            Kala pagi menantang, di telepon genggamku selalu telah tersaji sebakul semangat dan  secangkir doa hangat dari seorang ibu di tepian timur Jawa Barat. Rinduku padanya seakan menjadi rute yang selalu membatasiku dan menunjukan arah jalan ketika aku sedang berada di medan perang yang dikemas dalam sebuah institusi pendidikan. Meskipun suatu waktu aku pernah menanyakan penyelesaian dari sebuah soal kepada ibuku tentang “pesawat sederhana” yang sesungguhnya pertanyaannya tak sesederdahana namanya. Ia pun dengan tergesa-gesa memberiku jawaban dalam sepucuk pesan “Bergaullah dengan orang, dan perbanyaklah menjalin pertemanan, niscaya hidupmu akan aman dan nyaman”, seketika hatiku langsung terhenyak, aku takut pertanyaan itu telah melukai keinginan hati dan masa lalunya yang begitu bersemangat untuk mencapai pendidikan tinggi, meski akhirnya orangtuanya hanya mengizinkan dan mengantarnya pada level pertengahan dan menikahkannya di usia keemasan.
            Kala suatu malam menggapai sebutan “Nisfu Sya’ban”, dadaku sesak, peluhku bercucuran, begitupun mataku tak terpuaskan menumpahkan airnya. Aku beristigfar untuk bertobat, bersimpuh untuk meminta maaf meskipun hanya suaranya yang mampu kugapai tuk kulihat. Tapi untuk kedua kalinya aku dibuat terheran-heran olehnya, ia menanggapinya tanpa ada sedikitpun suara yang menandakan bahwa air matanya telah tertumpah oleh ku, ia hanya bersua “Tak ada yang harus kutangiskan darimu, kau telah membuatku menjadi ibu yang sempurna, kau telah memenuhi hatiku dengan semua kebaikan dan kebanggaan yang kau torehkan, dan aku hanya menginginkan kau menjaga semua itu dengan perlakuan, dengan iman, dan dengan keikhlasan. Buatlah hidupmu meinginspirasi bagi banyak orang”.
            Aku tahu pemerintah telah mencanangkan diversifikasi pangan dalam rangka ketahanan pangan di negeri ini, tapi aku pun tahu bahwa ibuku telah mencanangkan anti diversifikasi permasalahan dalam rangka ketahanan hidup yang menginspirasi didalam diri ini. Aku semakin yakin bahwa “Ridho Allah ada ditangan ridho kedua orang tua khususnya ibu”. Sejak saat itu, aku dilanda sebuah krisis kesulitan hidup, karena saat itu hidupku terasa dimudahkan, urusanku terasa dicapaikan, kebutuhanku terasa terpenuhkan, dan keinginanku terasa terkabulkan. Aku yakin, ibukulah sang biang kerok dibalik kegagalanku meraih nilai jelek pada saat matrikulasi, dan aku pun tak akan lupa untuk meyakini bahwa Tuhanlah sang dalang dari semua ini.
            Ibu....terima kasih telah menjerumuskanku pada sebuah dunia penuh kebaikan, terima kasih telah menghasutku untuk menjadi seseorang yang berprofesi menginspirasi, terima kasih telah memutilasi semua keburukan-keburukan dalam diriku, dan terima kasih telah mengaborsi semua kemalasan yang membuahi seluruh jiwaku.