Senin, 10 Juni 2013

KINI TELAH NYATA



KINI TELAH NYATA
Karya : Ari Fauzi Sabani

Kini telah nyata..........
Ilmu itu berdesakan diantara kerumunan ayat Quran
Menggelar lapak seakan mencari perhatian
Memberi pembuktian atas nama kemudahan dan kecanggihan
Lalu apakah potongan akalmu masih tersusun menjadi keraguan?

Kini telah nyata.................
Logikamu kehausan
Ilmumu berserakan diatas ceceran dosa yang mengering
Tak mampu tersintesa menjadi sujud di penghujung malam
Terlalu pengecut untuk menjadi kebaikan
Lalu apakah Islam tak mampu memapah akalmu yang sedang pincang?

Aljabar itu tak ditemukan dari sisa-sisa reruntuhan
Ia diciptakan dari tangan ulil albab atas nama keimanan
Quran itu penyelesaian
Dari setiap tanda tanya yang terkalung pada ketidaktahuan

                   Bentangkanlah keyakinanmu diatas keislaman
                   Sandarkanlah hatimu pada bahu ketaqwaan
                   Sujudkanlah akalmu hingga siang menghimpit malam
                   Biarkan kemalasanmu tertidur lelap dalam hangatnya kebaikan
                   Berenanglah hingga ke tepian dunia yang tak terlihat di peta
                   Karena semuanya kini telah nyata.......


NARKOBA DAN MANUSIA



NARKOBA DAN MANUSIA
Karya : Ari Fauzi Sabani

Hitam itu datang tanpa permisi
Menyeruak dari pori-pori setiap kegelisahan
Mendiami labirin akal dalam kegelapan
Mencekik pagi dan memutilasi malam
Dalam untaian nikmat yang terjuntai berkamuflase di atap lorong kehidupan

Narkoba itu seorang seniman
Pelukis abstrak beralirkan kesenangan hitam
Komedian kakap yang menjanjikan tawa dalam gelaran pesta
Pesulap handal yang mengilusikan kesakitan dalam bayangan kebahagian

Narkoba itu seorang profesional
Antara psikolog ternama dan psikopat tak bernyawa
Mengetuk pintu dan mengantarkan pada tanda tanya tua
Menaklukan akal dalam lantunan sakau
Menantang keberanian dalam pembangkangan

Maka jika waktunya telah sampai
Narkoba itu akan memandikan seonggok tubuh dalam gerahnya penyesalan
Menyuapi hamba tuhan dengan sebakul kehinaan
Menghempaskan raga bahkan jiwa
Hingga merangkak pada gubuk besi yang dindingnya berkarat

Wahai manusia..........
Apakah secangkir kopi kurang jalang untuk kau nikmati ?
Apakah segelas susu kurang intim dalam menyehatkanmu ?
Dan apakah sepiring nasi tak mampu memuaskan nafsumu ?
Lalu apakah kebaikan itu adalah sebuah tipuan nyata bagimu ?

Wahai manusia............
Narkoba itu tak layak untuk kau nikahi
Tak pantas menjamah setiap sel kecil dalam tubuhmu
Dan tak cocok kau jadikan dermaga tempat berlabuh setiap kesah hidupmu

Wahai manusia...........
Berpikirlah atas nama hidup dan matimu
Rindukanlah masa depan gagah yang menunggu di persimpangan waktu
Bawakanlah seikat iman pada hati yang termenung penasaran

MAHASISWA DAN NARKOBA




MAHASISWA DAN NARKOBA
Oleh : Ari Fauzi Sabani (F24120073)

Era globalisasi ditandai oleh adanya saling kebergantungan antarnegara. Hal ini menjadi suatu hal yang tidak bisa dihindari, sebagai konsekuensi dari semakin longgarnya batas negara. Dunia menjadi tanpa batas, yang ditandai semakin bebasnya arus informasi, komunikasi, dan ekonomi menembus batas-batas teritorial negara, membawa pengaruh dalam berbagai bidang. Termasuk di dalamnya adalah pola kepribadian, dan gaya hidup. Semakin lemah suatu negara maka akan semakin besar dia terpengaruh dan bergantung. Sikap pragmatis, individualis, materialis dan hedonis merupakan hal-hal yang terbawa juga dan berpengaruh pada masyarakat.
Penyalahgunaan narkoba merupakan realita fisik dari derasnya arus negatif globalisasi ini. Narkoba muncul seakan menjadi solusi dari berjuta masalah yang dihadapi masyarakat. Bagi pecandunya narkoba dianggap sebagai seorang seniman beraliran komedian kakap yang menjanjikan tawa dalam gelaran pesta. Selain itu, narkoba sudah dianggap seakan obat warung ketika rasa pusing menerjang. Hal lain yang lebih memprihatinkan adalah jumlah terbesar  penyalahguna narkoba  berasal dari golongan muda yang digadang-gadang menjadi penerus bangsa. Ironisnya, kaum elit mahasiswa pun terseret namanya dalam daftar penyalahguna narkoba ini.
Sejarah telah mencatat bahwa dari dahulu sampai sekarang kalangan elit mahasiswa selalu menjadi unsur penting dalam perkembangan pembangunan negeri. Tidak dapat dipungkiri bahwa estafet kepemimpinan negara Indonesia akan diteruskan oleh generasi muda yaitu generasi mahasiswa. Akan tetapi, Bagaimana jadinya apabila calon pemimpin bangsa ini adalah pemakai narkoba ?. Tentu bukan itulah yang diharapkan, meski bangsa ini tidak bisa mengelak bahwa terdapat mahasiswa yang menggunakan narkoba. Anggaplah hal itu sebagai pencilan diantara perubahan dan kemajuan bangsa yang akan diprakarsai oleh kalangan elit mahasiswa.
Mahasiswa merupakan komponen bangsa yang sarat nilai sosio-kultural,  sehingga  dapat dipercaya karena  dikenal memiliki idealisme.  Mahasiswa telah terbukti mampu  mendobrak aneka ketimpangan  di dalam masyarakat. Idealisme dan intelektualitasnya harus mampu menyelematkan bangsa dari penyalahgunaan narkoba. Jiwa kritis dan gagasan-gagasan yang berpijak pada ilmu dan pemikiran yang konstruktif di harapkan mampu menjadi langkah strategis untuk mencegah penyalahgunaan narkoba baik pada tataran ilmiah maupun pada tataran praktik di lapangan. Pilar mahasiswa harus menggunakan segala macam cara yang dikuasainya untuk memberikan pengertian atau mengungkapkan peringatan-peringatan keras-lunak, tajam-lembut, agar pemahaman “SAY NO TO DRUGS” dapat menancap dalam-dalam di kepala dan hati masyarakat maupun dirinya sendiri.
Peran startegis yang dimiliki mahasiswa sebagai “AGENT OF CHANGE” harus terkonversi menjadi bentuk propaganda terhadap peredaran dan penyalahgunaan narkoba. Untuk itu para mahasiswa diharapkan lebih meningkatkan perannya dalam memerangi penyalahgunaan narkoba melalui berbagai kegiatan dan aktivitas sepertihalnya membentuk kelompok-kelompok pendidik sebaya dalam naungan komunitas mahasiswa anti narkoba yang bertugas membantu mensosialisasikan bahaya penyalahgunaan narkoba. Singkat kata, mahasiswa harus menjadi garda terdepan dan pelopor sejati dalam membentengi masyarakat Indonesia terhadap penyalahgunaan narkoba.


Sabtu, 05 Januari 2013

“IBUKU DIBALIK KEHIDUPAN YANG MENGINSPIRASI”



Oleh : Ari Fauzi Sabani
Namaku bukanlah malin, dan kepanjangannya pun bukanlah kundang. Aku hanyalah pengecut berwajah pribumi dengan sedikit polesan persia dihidungku, dan aku pun adalah seorang pengkhawatir. Aku khawatir akan ada pujangga yang mengangkat cerita hidupku sebagai sequel dari balada kelabu malin kundang.  Tapi tahukah kamu? Apabila kamu bertanya tentang nama ibuku, maka akan ku lontarkan dengan sangat tegas dan kuhiasi dengan untaian penghayatan makhorijul huruf yang sunguh-sungguh bahwa nama ibuku adalah “Khoeriyah”. Sebuah nama yang akan sulit kau temukan untuk anak-anak yang lahir di era millenium abad 20. Sebuah nama yang apabila kau cari terjemahannya, maka akan kau temukan sebuah frase bermakna “kebaikan”.
            Sejak aku dinobatkan sebagai mahasiswa prematur di sebuah perguruan tinggi dalam rindangnya kota hujan, lingkungan seakan mendesakku untuk menuliskan sebuah hipotesis tentang ibu, “Kasih sayang seorang ibu akan terasa lebih dahsyat, ketika kau berada di sebuah tempat dengan jarak minimal 6 jam perjalanan sebuah kendaraan bermotor dari tempat tinggal ibumu dalam rentan waktu minimal 5  kali terbenamnya matahari”. Sejak saat itu pula, mataku seakan tak mampu berkedip melihat kenyataan bahwa ibuku adalah seseorang yang sangat keterlaluan, sungguh keterlaluan!. Ia begitu keterlaluan menyayangiku, keterlaluan melindungiku, dan keterlaluan mendoakanku. Sesungguhnya aku tak berhak menyematkan kata “dan” setelah tanda koma pada kalimat itu, karena ku yakin jikalaupun aku menuliskan semua keterlaluan yang telah ibuku lakukan terhadapku, maka tak akan ada media yang mampu memuat semuanya. Satu hal yang kuyakini bahwa pengorbanan dan doanya telah menjadi tunggangan yang menghantarkanku pada sebuah padepokan yang menyegel diri pada kajian ilmu pertanian.
            Hingga ragaku sampai di persimpangan sebuah asrama yang telah tertakdirkan padaku, aku pun menyadari bahwa aku tak mampu lagi untuk melihat seorang wanita yang raganya selalu kokoh menopangku, mengintegralkan hidupnya untuk hidupku, dan menumpahkan kasihnya untuk mengisi setiap sel jiwaku, hingga ia pun tak sempat bersolek untuk suaminya ataupun menyiram bunga mawar favoritnya karenaku.
            Waktupun terus menepi menuju akhirnya, setiap detik itu seakan mengkarantinaku dalam sebuah tugas menganalisis dan meresume semua dosa-dosaku tehadap ibuku. Aku sungguh dibuat terheran-heran olehnya, mengapa ia masih sempat menanyakan kabar setiap sel didalam tubuhku dan setiap sel didalam rohaniku, dikala koleksi dosaku terhadapnya semakin menumpuk dan berdebu? Mengapa ia masih sempat membangunkanku dikala fajar menjelang meski ku tahu ia begitu kelelahan? Dan mengapa ia masih sempat mengetik sebuah pesan “Jangan lupa sholat karena itu akan menjadi kekuatanmu, jangan lupa makan karena itu akan menjadi cadanganmu, dan jangan lupa belajar karena itupun sangat penting untukmu”, meski ku tahu tangan lembutnya telah terluka ketika ia menjajakan buliran beras untuk dijual?.Akan tetapi satu hal yang terbukti, semua pertanyaan dan pernyataan itu telah menutup semua jalan menuju berjuta keburukan yang sesungguhnya terjajakan oleh kondisiku sebagai perantauan.
            Kala pagi menantang, di telepon genggamku selalu telah tersaji sebakul semangat dan  secangkir doa hangat dari seorang ibu di tepian timur Jawa Barat. Rinduku padanya seakan menjadi rute yang selalu membatasiku dan menunjukan arah jalan ketika aku sedang berada di medan perang yang dikemas dalam sebuah institusi pendidikan. Meskipun suatu waktu aku pernah menanyakan penyelesaian dari sebuah soal kepada ibuku tentang “pesawat sederhana” yang sesungguhnya pertanyaannya tak sesederdahana namanya. Ia pun dengan tergesa-gesa memberiku jawaban dalam sepucuk pesan “Bergaullah dengan orang, dan perbanyaklah menjalin pertemanan, niscaya hidupmu akan aman dan nyaman”, seketika hatiku langsung terhenyak, aku takut pertanyaan itu telah melukai keinginan hati dan masa lalunya yang begitu bersemangat untuk mencapai pendidikan tinggi, meski akhirnya orangtuanya hanya mengizinkan dan mengantarnya pada level pertengahan dan menikahkannya di usia keemasan.
            Kala suatu malam menggapai sebutan “Nisfu Sya’ban”, dadaku sesak, peluhku bercucuran, begitupun mataku tak terpuaskan menumpahkan airnya. Aku beristigfar untuk bertobat, bersimpuh untuk meminta maaf meskipun hanya suaranya yang mampu kugapai tuk kulihat. Tapi untuk kedua kalinya aku dibuat terheran-heran olehnya, ia menanggapinya tanpa ada sedikitpun suara yang menandakan bahwa air matanya telah tertumpah oleh ku, ia hanya bersua “Tak ada yang harus kutangiskan darimu, kau telah membuatku menjadi ibu yang sempurna, kau telah memenuhi hatiku dengan semua kebaikan dan kebanggaan yang kau torehkan, dan aku hanya menginginkan kau menjaga semua itu dengan perlakuan, dengan iman, dan dengan keikhlasan. Buatlah hidupmu meinginspirasi bagi banyak orang”.
            Aku tahu pemerintah telah mencanangkan diversifikasi pangan dalam rangka ketahanan pangan di negeri ini, tapi aku pun tahu bahwa ibuku telah mencanangkan anti diversifikasi permasalahan dalam rangka ketahanan hidup yang menginspirasi didalam diri ini. Aku semakin yakin bahwa “Ridho Allah ada ditangan ridho kedua orang tua khususnya ibu”. Sejak saat itu, aku dilanda sebuah krisis kesulitan hidup, karena saat itu hidupku terasa dimudahkan, urusanku terasa dicapaikan, kebutuhanku terasa terpenuhkan, dan keinginanku terasa terkabulkan. Aku yakin, ibukulah sang biang kerok dibalik kegagalanku meraih nilai jelek pada saat matrikulasi, dan aku pun tak akan lupa untuk meyakini bahwa Tuhanlah sang dalang dari semua ini.
            Ibu....terima kasih telah menjerumuskanku pada sebuah dunia penuh kebaikan, terima kasih telah menghasutku untuk menjadi seseorang yang berprofesi menginspirasi, terima kasih telah memutilasi semua keburukan-keburukan dalam diriku, dan terima kasih telah mengaborsi semua kemalasan yang membuahi seluruh jiwaku.