Selasa, 04 November 2014

CAJUPUT CANDY, CARA BARU MENIKMATI KAYU PUTIH


Oleh : Ari Fauzi Sabani


Pemanfaatan minyak kayu putih sebagai minyak oles penghangat tubuh sudah lama berkembang di masyarakat. Namun, di tangan Prof Dr Ir C Hanny Wijaya ekstrak minyak kayu putih ini dapat dijadikan sebagai bahan baku permen yang nikmat dan berkhasiat bernama Cajuput Candy.
Terinspirasi dari kebiasaan masa kecilnya meminum air yang telah ditetesi minyak kayu putih pada saat terkena masuk angin dan kebingungannya mencari cenderamata khas indonesia yang ramah dikantong untuk rekan-rekannya di Jepang, sejak tahun 1997 Prof Dr Ir C Hanny Wijaya dan tim telah mengembangkan Cajuput Candy sebagai produk confectionary berupa permen keras pelega tenggorokan yang berbahan dasar minyak atsiri kayu putih yang diperoleh melalui proses distilasi dari daun dan kulit kayu tanaman herbal Indonesia Malaleuca cajuputi (Ketaren 1990). Sejauh ini , produk yang dipatenkan pada tahun 2002 ini telah memperoleh penghargaan sebagai 103 Inovasi Indonesia (2011), Anugerah Kekayaan Intelektual Luar Biasa pada tahun 2012, mendapat pengakuan sebagai Asean Food Products pada 13th ASEAN Food Conference 2013 di Singapura, dan telah terdaftar di BPOM RI dengan nomor MD 624410004005 serta telah tersertifikasi halal oleh MUI dengan No 00110067461213.
Menurut Budavari 1989, senyawa bioaktif dalam minyak kayu putih berfungsi sebagai expectorant dan antiseptik untuk meringankan sakit tenggorokan, anti inflamasi, dan antifungal. Selain itu juga minyak kayu putih dapat digunakan untuk mengobati batuk dan pilek, sakit/kram perut, masuk angin, serta asma (Lassak dan McCarthy 1983). 
“Manfaat dari permen kayu putih adalah untuk menghangatkan tubuh, melegakan tenggorokan, mencegah karies gigi bahkan mencegah gigitan nyamuk. Hal ini karena saat mengulum permen, aroma kayu putih keluar dari mulut dan membuat nyamuk kabur” ujar Dosen ITP-IPB ini pada Seminar Nasional Food Day Festival (12/10).
            Seiring semakin berkembangnya produk ini, beberapa inovasi terhadap produk pun dihadirkan seperti Non-Sucrose Cajuput Candy yang rendah kalori dengan ingredient utama isomalt yang diperkaya flavor buah, dan Cajuput candy rasa Honeydew. Bekerjasama dengan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, cajuput candy telah diteliti mampu menghambat pembentukakan biofilm bakteri Streptococcus mutans, dan Streptococcus sobrinus yang biasa menyebabkan karies pada gigi, serta mampu menghambat viabilitas dan pembentukan biofilm Candida albicans sehingga permen ini mempunyai potensi menjaga homeostasis mikroflora dalam mulut dan berfungsi sebagai oral health care yang mampu mencegah karies pada gigi dan infeksi pada luka di rongga mulut.
Cajuput candy muncul sebagai produk yang bercirikan muatan lokal, simpel, praktis, murah dan menyehatkan. Bahan utamanya adalah minyak atsiri dari tanaman kayu putih yang diambil dari Pulau Buru, Kepulauan Maluku. Tanaman kayu putih bukan hanya terdapat di Pulau Buru, tapi hampir di setiap wilayah di Indonesia seperti di Jawa Tengah juga terdapat sentral kayu putih yang dibuat untuk minyak oles.
“Dipilihnya kayu putih dari Pulau Buru didasarkan hasil penelitian komponen gas kromatografi yaitu analisis penyusun komponen sampel, dimana minyak kayu putih dari kayu putih Pulau Buru dari segi organoleptik lebih disukai” ujar Prof Dr Ir Hanny Wijaya pada Seminar Nasional Food Day Festival (12/10).
Cajuput candy dapat dibeli di Bread Unit IPB Dramaga, Serambi Botani, Agrimart IPB, dan berbagai toko di kawasan IPB dengan harga antara Rp 3000  - Rp 5000 per bungkus (1 bungkus isi 5 butir permen). Sejauh ini, tingkat penerimaan terhadap permen ini positif dan tingkat permintaannya cenderung meningkat, meskipun sebagian besar orang awam akan sedikit ragu ketika pertama kali akan mencobanya karena ketidaklaziman minyak kayu putih dikonsumsi.
Tantangan selanjutnya yang sedang dijalankan oleh Prof Dr Ir Hanny Wijaya dan tim adalah pengembangan cajuput candy dalam bentuk chewy candy. Prof Dr Ir Hanny Wijaya berharap produk Cajuput Candy mampu menjadi inisiator yang menjadikan Indonesia sebagai produsen permen herbal bercitarasa nusantara yang dikenal oleh dunia.      

Selasa, 14 Oktober 2014

LALAPAN, SEHATKAH?


Oleh : Ari Fauzi Sabani


         Masyarakat Indonesia terutama dari suku sunda pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya lalapan. Pelengkap yang berasal dari berbagai sayuran ini menyerupai salad yang terkenal sebagai makanan orang barat. Perbedaannya salad dikonsumsi dengan saus (dressing), sedangkan lalapan biasa disantap bersama nasi hangat, lauk, dan sambel terasi. Sayuran yang biasa dijadikan sebagai lalapan diantaranya daun kemangi, daun singkong, mentimun, kol, terong bulat, daun singkong, labu siam, pare, wortel, selada, daun bayam dan sebagainya. Seperti telah diketahui, mengkonsumsi sayuran merupakan hal penting yang harus dilakukan manusia agar tetap sehat. Sayuran pada dasarnya banyak mengandung mineral, serat, vitamin, dan antioksidan yang dibutuhkan oleh manusia, seperti halnya wortel yang banyak mengandung karotenoid, atau  daun bayam yang merupakan sumber vitamin E, dan zat besi. Berdasarkan hal tersebut,  Apakah benar lalapan merupakan makanan sehat?

Faktor-faktor yang menentukan kualitas makanan baik, dapat ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek kelezatan (cita rasa dan flavour), kandungan zat gizi dalam makanan dan aspek kesehatan masyarakat. Makanan yang menarik, nikmat dan tinggi gizinya menjadi tidak berarti sama sekali jika tidak aman untuk dikonsumsi. Hal ini dapat disebabkan karena makanan bertindak sebagai perantara atau substrat untuk pertumbuhan mikroorganisme patogenik dan organisme lain penyebab penyakit. Pertumbuhan mikroorganisme dalam makanan memegang peranan penting dalam pembentukan senyawa yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan tidak layak makan. Beberapa mikroorganisme yang mengontaminasi makanan dapat membahayakan bagi yang mengkonsumsinya. Makananan yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme atau bakteri dan bahan kimia berbahaya, telah diolah dengan tata cara yang benar sehingga sifat dan zat gizinya tidak rusak, serta tidak bertentangan dengan kesehatan manusia. Karena itu kualitas makanan baik secara bakteriologi, kimia dan fisik harus selalu diperhatikan. Kualitas dari produk pangan untuk dikonsumsi manusia pada dasarnya dipengaruhi oleh mikroorganisme

Lalapan berasal dari sayuran, sehingga sudah tidak diragukan lagi bahwa lalapan memiliki zat gizi sesuai jenis lalapannya. Sayuran lalapan biasa dikonsumsi secara mentah, karena dilihat dari tekstur dan organoleptiknya lalapan ini memungkinkan untuk dikonsumsi secara mentah. Karena dikonsumsi secara mentah zat gizi yang terkandung pada lalapan tidak mengalami perubahan. Namun hal tersebut menimbulkan konsekuensi dan resiko kontaminasi mikroba patogen dan senyawa kimia beracun pada lalapan yang kita konsumsi.

            Menurut Prof.Dr.Ir.MadeAstawan (ahli teknologi pangan dan gizi IPB) faktor-faktor yang perlu dicurigai dalam mengonsumsi lalapan mentah adalah residu pestisida akibat pencucian yang tidak sempurna, pasalnya beberapa zat kimia dalam pestisida tidak bisa hilang meski dicuci. Kontaminasi mikroba patogen yang menimbulkan penyakit seperti penyakit tifus oleh bakteri Salmonella typhi, disentri oleh Shigella dysentriae, kolera oleh Vibrio cholerae, tuberkulosis oleh Mycobacterium, dan  Eschericia coli yang dapat menimbulkan diare. Hal tersebut dapat disebabkan oleh adanya kontaminasi dari air pencuci dari sumber yang tercemar atau penggunaan humus yang berasal dari kotoran hewan karena sebagian besar sayuran merupakan tanaman pendek yang jaraknya sangat dekat dengan tanah. 
 
         Sebuah penelitian menunjukan bahwa sebanyak 4% dari seluruh sampel selada segar dari berbagai pasar tradisional di Bogor yang diuji teridentifikasi terkontaminasi Salmonella (Agustin 2004). Adanya Salmonella tersebut diperkirakan karena terjadinya kontaminasi feses manusia dan hewan saat pra panen sampai rentang waktu penjualan. Penelitian lain menunjukan bahwa berdasarkan kandungan bakteri E. Coli pada sayuran lalapan di pasar tradisional, supermarket dan restoran di Kota Medan pada sampel kemangi yang diuji seluruhnya memenuhi syarat kesehatan, sampel kol dan selada seluruhnya tidak memenuhi syarat kesehatan, sedangkan sampel terong dari  pasar tradisional tidak memenuhi syarat kesehatan (Flroensi et al. 2012)

       Berdasarkan uraian diatas, dari segi kandungannya lalapan merupakan makanan yang sehat, namun hal tersebut akan menjadi percuma apabila penanganan pra-konsumsi untuk menghilangkan bahaya dari mikroba-mikroba patogen dan senyawa beracun pada lalapan tidak dilakukan dengan benar dan higyenis. Hal yang dapat dilakukan sebelum mengonsumsi mentah sayuran lalapan  untuk menghilangkan kontaminasi dari mikroba dan senyawa kimia berbahaya yaitu pencucian dengan air yang mengalir yang tidak tercemar, pencucian dengan air asam (cuka, air lemon, air jeruk nipis) atau dicuci dengan larutan Kalium Permanganat 0,02% kemudian dibilas dengan air matang yang sudah dingin. 

        Konsumsi lalapan matang pun lebih disarankan karena dinilai lebih aman meskipun dimungkinkan terdapat beberapa zat gizi dalam lalapan yang hilang atau rusak akibat proses pemasakannya. Pemasakan sayuran untuk lalapan harus dilakukan sedemikian rupa agar teksturnya tidak hancur. Pemasakan sebaiknya dilakukan dengan teknik blansir, yaitu pelunakan bahan dengan cara pencelupan beberapa saat (sekitar 5 menit) pada suhu air mendidih, yang kemudian segera disiram dengan air dingin (matang) agar pemanasan tidak berlanjut. Pemasakan dengan teknik blansir ini dinilai mampu meminimalisir kerusakan zat gizi pada lalapan, membunuh mikroba patogen, mengubah senyawa komplek menjadi sederhana sehingga mudah dicerna, menginaktifkan senyawa alami beracun, dan menguraikan residu pestisida agar tidak berbahaya bagi tubuh manusia. 

Pustaka
Agustin D. 2004. Prevalensi Salmonella pada Selada Segar di Pasar Tradisional Daerah Bogor dan Evalusai Prosedur Pengujiannya [Skripsi]. Bogor (ID) : Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor
Florensi et al. 2012.  Pemeriksaan E. Coli dan larva cacing pada sayuran lalapan kemangi, kol,  selada, terong yang dijual di pasar tradisional, supermarket, dan restoran di Kota Medan [Laporan Penelitian]. Medan (ID) : Departemen Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Rabu, 27 Agustus 2014

“KEADILAN TUHAN : Restu Orang Tua”




Oleh
Ari Fauzi Sabani

Ada hari hari dimana segala kerja keras seakan hanya bualan kritikus jalanan yang tak pernah di dengar, segala peluh pikiran pernah kutuangkan hanya untuk mendapat  pujian dengan menabung angka yang besar pada setiap ujian. Maklum! saat itu Tuhan baru saja menobatkanku sebagai mahasiswa perantauan di kampus pertanian yang ambisinya kepenuhan hingga meletup-letup tak terarahkan. Malamku selalu habis, siangku kelelahan mempelajari setiap ilmu pangan yang telah ku titipkan masa depanku padanya, aku merasa tidak ada yang salah dengan apa yang aku lakukan. Wejangan guruku sewaktu SD bahwa “Rajin pangkal pandai” tak pernah kutanggalkan, apalagi titipan guru ngajiku agar selalu bermunajat kepada Tuhan. Saat masa kuliahku mulai menapaki persimpangan tingkat, ujian tengah semester telah menghadang untuk ditaklukan. Setelah aku menghadangnya, hasilnya begitu mengecewakan, ambisiku pingsan, asaku babak belur olehnya. Secara manusiawi aku pun berteriak histeris, memaki-maki, dan mempertanyakan dimana keadilan Tuhan.
 
Ibarat sinetron Indonesia yang tokoh utamanya tak pernah lepas dari kemalangan, ketidakberuntungan kembali merasuki asaku, empat kali aku menawarkan diri agar para donatur mau membiayai kuliah dan hidupku, empat kali pula aku ditolak mentah-mentah oleh mereka  ... Yah!!, saat itu dengan angkuhnya aku mengatakan semua itu hanyalah ketidakberuntungan dan bukan kesalahan. Sampai akhirnya, mungkin Tuhan jengkel kepadaku yang tak kunjung menyadari ada hal besar yang kulewatkan. “Ridho Allah adalah Ridhanya kedua orangtua”, itulah jawaban Tuhan atas pertanyaanku terhadap keadilannya dan menunjukan betapa bodohnya aku padahal Tuhan telah memberikan jawaban bahkan sebelum aku bertanya.
Sejak saat itu, kala pagi mulai mengintip waktuku untuk berangkat kuliah, aku tak pernah lupa untuk menelpon ataupun sekedar mengirim pesan singkat meminta izin dan doa kepada orangtuaku. Meskipun sebenarnya tak perlu dengan memintanya pun selalu tersaji sebakul semangat dan secangkir doa hangat dari orang tua terhebat di tepian timur Jawa Barat itu.  Secara tidak sopan, aku pun selalu menyodorkan dan melibatkan berbagai masalah yang kuhadapi kepada mereka, tapi apapun masalahnya orangtuaku selalu mengatakan “Masalah adalah Uang”, darisanalah aku menyadari berapa banyak orang yang jadi jutawan dari adanya masalah lapar, berapa banyak orang dapat hidup gara-gara masalah nyamuk karena dapat bekerja di perusahaan obat nyamuk.

Sejak aku membiasakan diri untuk menelpon orang tuaku sebelum kuliah ataupun sebelum melakukan kegiatan, aku dilanda sebuah krisis kesulitan hidup, karena saat itu hidupku terasa dimudahkan, urusanku terasa dicapaikan, kebutuhanku terasa terpenuhkan, dan keinginanku terasa terkabulkan. Aku yakin, doa kedua orangtuakulah salahsatu biang kerok dibalik kegagalanku meraih ip rendah atau kegagalanku mendapatkan penolakan dari beasiswa Tanoto Foundation, dan aku yakin Tuhanlah sang dalang dari semua ini. Sesungguhnya mewujudkan impian itu bagaikan memerankan skenario sinetron yang ceritanya rumit berbelit-belit dengan alur yang memutar dengan konflik imajinatif ala “Cinta Fitri” yang pernah melejit. Akhirnya... kerja cerdas, doa, serta restu orangtualah yang akan menjadi legitimasi atas persetujuan Tuhan bagi semua cita-cita kita.

 “Ada saat-saat dimana kita berpikir kebahagiaan hanya ditakdirkan untuk orang lain, dan masalah hanya ditakdirkan untuk kita. Tapi yakinilah bahwa masalah adalah uang, dan orangtuamu adalah orang kepercayaan Tuhan untukmu, maka bersikap baiklah terhadap mereka! Itulah keadilan Tuhan!”