Sabtu, 24 November 2012

Balada Maha Pangan



Malam itu, aku laksana seorang napi tak bersalah yang memasung kakinya sendiri dengan kayu jati tua berwarna coklat menyala. Aku seakan ingin merobek semua skenario yang tak pernah ku lihat wujudnya saat itu. Adikku terus meneteskan ingus hijau pekat seakan ia memberi suatu pelepasan tanpa kerelaan, apalagi ibuku meski matanya terlihat gersang tapi jelas aku melihat sebuah fatamorgana oasis sedih kebahagiaan dalam hatinya. Ibuku terus menjejali satu-satunya tas bepergian yang ku punya dengan apa yang aku butuhkan, ia terus mengingatkanku akan sesuatu yang mungkin telah ku lupakan. Lalu, ku sentuh tangan kasarnya dan kuciumi pipinya, tangannya seakan menvisualisasikan bagaimana perjuangannya bertarung dengan bulir-bulir padi yang begitu gatal dan runcing. Lalu, aku pun berpamitan pada sang guru yang telah mengajarkanku berbagai ilmu tentang dua alam, bagiku ilmu yang ia berikan lebih berharga daripada yang ku dapatkan di perguruan formal.

Saat jarum di jam tanganku membentuk sudut 180 derajat antara angka 6 dan 12, aku pun pergi dengan menatap haru semua keluargaku, saat itu pun aku baru tersadar betapa eloknya kota yang telah kusetubuhi selama 15 tahun ini. Kala itu memang aku masih di temani oleh seorang pendonor gen paling banyak bagi diriku, itulah ayahku. Saat itu seakan semua tabir kesadaran dalam hidupku terungkap, selama ini aku buta tak pernah melihat suatu sisi paling indah dari mereka. 8 jam sudah pantatku merekat erat pada kursi sebuah bus eksekutif berlabel “Budiman”. Lalu, aku dan ayahku bergegas mengayunkan kaki dan menapakkan pada tanah sebuah persimpangan Bis tua khas kota hujan dalam keganasan yang terselimuti oleh indahnya malam. Jalanku tertatih, seakan-akan si buta yang terus meraba dan menapaki jalan. to be continued.....





Tidak ada komentar:

Posting Komentar